top of page

Informasi Menarik Sejarah Perjalanan Haji Indonesia

Musim haji memang menjadi salah satu yang khas di Indonesia. Mengantar jamaah haji sekaligus menjemput jamaah haji menjadi tradisi. Oleh karena Indonesia adalah negara yang letaknya jauh dari Arab Saudi, sehingga sejak dulu perjalanan haji memang kegiatan yang persiapannya panjang dan prosesnya lama. Mulai dari pembiayaan hingga persiapan kesehatan, keluarga dan lain-lain.

Sejarah Perjalanan Haji Indonesia

Dikutip dari laman ceknricek.com, sejarah perjalanan haji Indonesia dibagi menjadi tiga. Yaitu di masa sebelum kolonial, masa kolonial hingga pasca kemerdekaan. Berikut ulasan singkatnya.

Ibadah Haji Dulu, Tribun Jogja

1. Sebelum Masa Kolonial

Dalam beberapa catatan sejarah, orang-orang nusantara diperkirakan telah mendarat di Makkah pada awal abad 12. Namun, perjalanan mereka ke tanah Makkah tidak dalam rangka melakukan perjalanan haji, melainkan untuk kepentingan perdagangan.

Kisah tertulis pertama tentang orang Melayu atau Nusantara yang berhaji baru muncul pada akhir abad ke-15 M, yaitu Hang Tuah yang ceritanya dikenal sekira 1482 M. “Hang Tuah tokoh tersohor di Malaka. Ini masa akhir kehidupan Malaka sebagai kesultanan dan 30 tahun sebelum direbut Portugis pada 1511,” ungkap Henri Chambert-Loir, peneliti di Ecole Française d’Extrême-Orient (EFEO) seperti dikutip dari Historia.

Selain itu, menurut Schrieke yang dikutip oleh Azyumardi Azra, orang-orang Melayu-Indonesia sudah terlihat kehadirannya di dekat barat laut India sejak awal abad ke-12. Schrieke juga menyatakan pada tahun 1440 M, Abdul al-Razzaq menemukan orang-orang Nusantara di Hormuz, begitu pula yang ditulis oleh Ibnu Bathuthah bahwa ia menemukan orang-orang Jawa (Nusantara) di antara kalangan pedagang asing di Kalikut, pantai Malabar, pada tahun 1346 M.

2. Masa Kolonial

Ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda sebagai penerus kekusaan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) menduduki Nusantara, ibadah haji mulai menjadi perhatian serius mereka tatkala terjadi gejolak pemberontakan yang diinisiasi oleh para pemuka agama dan haji (diantara yang terkenal adalah Hasyim Asy’ari dan Ahmad Dahlan). Hindia Belanda yamg sebelumnya tidak melihat ibadah haji sebagai sudut pandang politik kemudian membentuk sistem ordonasi haji pada 1825.

Latar belakang dibentuknya ordonasi ini adalah ketika pada 1824 terjadi lonjakan pengajuan paspor haji ke kantor imigrasi, tercatat pada tahun tersebut sebanyak 200 lebih pribumi mendaftar untuk naik haji. Pemerintah tentu saja kalang kabut menyikapi hal ini, bagaimana mereka harus memadamkan 200 potensi pemberontakan sekaligus. Syak wasangka tersebut muncul dikarenakan selain karena selain berhaji mereka akan mendapatkam pemikiran-pemikiran baru ketika berhaji, dan bertemu dengan bangsa lain.

Beberapa dekade kemudian, pada 1859, pemerintah kolonial kembali mengeluarkan ordonasi baru mengenai urusan haji, yang paling menonjol dari ordonansi baru ini adalah pemberlakuan semacam “ujian haji” bagi mereka yang baru pulang dari Tanah suci. Mereka harus membuktikan benar-benar telah mengunjungi Mekkah. Jika seseorang sudah dianggap lulus ujian ini, ia berhak menyandang gelar haji dan diwajibkan mengenakan pakaian khusus haji (jubah, serban putih, atau kopiah putih).

Dari fase inilah sebenarnya fase penyematan gelar haji lewat panggilan nama dan atribut mereka perlahan melekat pada orang-orang yang telah melakukan ibadah suci di Makkah (namun dalam sumber lain ada juga yang sejarawan yang membantah hal tersebut). Mengapa gelar ini wajib disematkan? Tujuan utamanya adalah untuk mempermudah kontrol dan pengawasan terhadap para haji. Jika ada pemberontakan berdasarkan agama terjadi pemerintah kolonial tinggal mencomot para haji-haji tersebut. Pada zaman tersebut, prestise seseorang yang telah berhaji akan berbeda di masyarakat.

3. Pasca Kemerdekaan

Setelah Indonesia mengumumkan kemerdekaannya, secara otomatis pengaturan haji di bawah kendali pemerintahan yang baru. Pada tahun 1950-1962, penyelenggaraan haji dilaksanakan secara bersama-sama oleh Pemerintah dan Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (YPHI) yang didirikan tanggal 21 Januari 1950 dengan pengurusnya terdiri dari para pemuka Islam dari pelbagai golongan.

Ibadah Haji Sekarang

Pada tahun 1962-1964 pemerintah membentuk dan menyerahkan penyelenggaraan haji Indonesia kepada Panitia Perbaikan Perjalanan Haji (P3H). Seiring berjalannya waktu terjadi pembenahan sistem pemerintahan yang berpengaruh pula terhadap penyelenggaraan haji. Yakni, dengan dibentuknya Departemen Agama (Depag). Selanjutnya struktur dan tata kerja organisasi Menteri Usaha haji, dan tugas penyelenggaraan ibadah haji di bawah wewenang Direktur Jenderal Urusan Haji, termasuk besarnya biaya, sistem manajerial dan bentuk organisasi yang kemudian ditetapkan dalam keputusan Dirjen Urusan Haji Nomor 105 tahun 1966.

Pada masa reformasi, pemerintah membuat aturan baru yang diejewantahkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999. Isinya adalah penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan dan perlindungan yang sebaik-baiknya melalui sistem dan kepengurusan penyelenggaraan yang baik, agar perlaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar, dan nyaman sesuai dengan tuntutan agama, serta jamaah haji dapat melaksanakan ibadah secara mandiri sehingga memperoleh haji mabrur.

Dengan berbagai pertimbangan, pemerintah kemudian merevisi UU nomor 17/1999 dengan UU nomor 13/2008 yang menegaskan bahwa Pemerintah dalam hal ini Depag masih menjadi Operator penyelenggaraan ibadah haji Indonesia. Hal itu tertuang jelas dalam Pasal 10 ayat (1) yang berbunyi “Pemerintah sebagai penyelenggara Ibadah Haji berkewajiban mengelola dan melaksanakan Penyelenggaraan Ibadah Haji.”

Untuk Anda yang membutuhkan oleh-oleh haji di area Jogja dan sekitarnya, kunjungi oleh-oleh haji Jogja. Semoga bermanfaat.

 
Single Post: Blog_Single_Post_Widget

Follow

  • twitter
  • linkedin
  • facebook
  • instagram
  • googlePlus

©2018 by SEO Anak Sholeh. Proudly created with Wix.com

bottom of page